Pelik kehidupan di Yogyakarta
Menjadi mahasiswa aku anggap sebagai suatu tuntutan, namun juga
status sosial. Pasalnya orang tuaku menginginkan anak-anaknya menuntut ilmu
setinggi mugkin. Bukan hanya itu saja agamapun menganjurkan umatnya untuk
menuntut ilmu. Karna dengan menuntut ilmu manusia akan diangkat derajatnya (baca
Q.S Al Mujadalah :11). Terlepas dari hal itu semua , inilah kisahku. Seorang
mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi negeri Yogyakarta.
Suara azan subuh pagi itu terdengar samar-samar dan lebih merdu
dari biasanya. Mungkin hanya perasaanku saja yang terbawa oleh suasana
perpisahan. Aku tersadar, ini tanggal 17 Agustus 2014, tanggal yang tidak hanya
bersejarah bagi Indonesia, namun juga bersejarah bagiku. Segera ku ambil air
wudu dan kuputuskan untuk salat sendiri di rumah. Setelah salat kuperiksa checklist
barang bawaan yang telah kupersiapkan semalam untuk antisipasi kalau-kalau ada
barang yang tertinggal sebelum akhirnya mandi dan kemudian makan pagi.
Pagi itu, mentari telah menyelinap masuk melalui sela-sela
ventilasi di ruang tamu seakan-akan siap menyambutku di alam luar sana. Ku buka
pintu depan dan kukeluarkan sepeda motor untuk dipanasi. Kali ini aku dibuat takjub
dengan pemandangan yang hampir tidak biasa. Desaku ini, bila digambar akan sama
persis dengan gambaran yang dibuat saat aku masih duduk di bangku sekolah
dasar. Pemandangan persawahan yang di tumbuhi tanaman padi yang telah
menguning, bukit-bukit yang mengelilingi desa dan dengan dua gunung Sindoro
Sumbing serta lengkap dengan sinar mentari yang mengintip di kejauahan sana.
Alam yang sungguh indah luar biasa kaya raya. Masih dalam lamunan,
tiba-tiba aku di kagetkan dengan kedatangan Malik, Sahabatku. Ia inilah yang
akan menemani perjalananku, karena kebetulan ia juga telah diterima di salah
satu perguruan tinggi Yogyakarta. “Wuiih, matahari 17 Agustus,” ucapnya
sambil menepuk pundakku. “Iya lik, perjalanan kita ke Jogja nanti awal
dari kisah panjang dan awal dari sebuah perjuangan, bagai Indonesia meraih kata
merdeka,” ucapku meyakinkan diri. “Semoga saja demikian il, hidup itu tuntutan,
entah akan dibawa kemana arah jalan hidup ini, ya kita yang menentukan,” terangnya
dengan gaya khas Mario Teguh. “Super sekali sahabat,” ledekku dengan
cengengesan. “Ayo lik kita persiapan, Yogyakarta sudah menanti.” “Ayo,” jawab
seadanya. Setelah itu kami berpamitan dengan orang tuaku. Seperti selayaknya
orang tua, akupun diberi wejangan singkat. Dan perpisahan itu ku akhiri dengan
mencium tangan orang tuaku.
Berat rasanya jauh dari keluarga apalagi dituntut untuk beradapatsi
di lingkungan baru. Paling tidak inilah yang aku rasakan saat kali pertama
menginjakkan kaki di Yogykarta. Mulai dari hawa panasnya, jalan bagai labirin, polusi
dan macet dimana-mana, hingga merasa tak betah berlama-lama di Jogja. Pernah
ada satu kejadian yang membuat aku jengkel, ban sepeda motorku bocor dua kali
dalam satu hari. Padahal ban sepeda motorku masih terbilang baru. Namun semua
itu sirna dengan sendirinya. Keakraban mulai aku rasakan, dari masyarakatnya
yang penuh dengan etika sampai terbiasa dengan masakannya.
Menjadi mahasiswa baru tentunya tidak lepas dari kegiatan orientasi
pengenalan akademik atau yang biasa dikenal dengan ospek. Dengan segala macam
tingkat keanehan namun masih dalam batas wajar ospek yang berlangsung selama 3
hari itu kadang membuat aku jengkel dengan berbagai tingkah laku para senior
yang masuk kedalam kepanitiaan, terkadang pula membuat aku kagum dengan apa
yang ada di perguruan tinggi.
Meskipun tidak mengenai sasaran secara tepat mengenai tujuan
diselenggarakannya ospek, karena ada beberapa hal yang sedikit melenceng. Namun
aku tetap salut dengan kerja keras para panitia. Terlepas dari hal itu, prosesi
sebagai mahasiswa baru, ternyata belum berakhir. Kami masih dihadapkan dengan
program sosialisasi pembelajaran (sospem).
Dalam kegiatan ini kami diberi gambaran, arahan, bimbingan dan
kiat-kiat menjadi mahasiswa yang baik. Hingga mulailah masa-masa perkuliahan
dimana baru pertama kali tatap muka dengan dosen kami langsung mendapatkan
tugas pemanasan mengenai mata kuliah yang di ampu oleh masing-masing dosen.
Meskipun agak menyusahkan, tapi ini merupakan bagian dari awal perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar