Misteri
Peninggalan Ayah
Sayup-sayup
terdengar suara rintih tangisan saat senja datang. Sungguh suara yang menyayat
hati bagi siapa pun yang mendengarnya. Kini satu jiwa telah kembali ke dalam dekapan-Nya.
Tidak dapat di pungkiri siapa pun yang hidup di dunia ini akan mengalami
kematian. Mau balita, remaja, dewasa bahkan lansia tidak tahu pasti kapan ia
akan mati. Memang benar adanya, perkara itu di luar batas kemampuan manusia.
Namun berbeda dengan seorang Edo dengan indigo yang dimilikinya setelah ia
membuka kotak rahasia peninggalan ayahnya.
***
Keringat dingin membasahi tubuh Edo
saat ia terbangun di tengah tidurnya. Mimpi itu datang lagi ujarnya dalam hati.
Ia melihat kearah jam dinding dan waktu menunjukkan pukul 02.30 pagi. Kemudian
segera saja ia menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu dan melaksanakan
salat tahajud.
Sembari menunggu masuk waktu subuh.
Ia buka sebuah buku berwarna hitam polos dengan sampulnya yang telah termakan
usia dan judul putih “Akhir Dunia”. Itu
adalah buku harian milik ayahnya yang berisi segudang cerita perjalanan semasa
ayahnya muda mengarungi nusantara. “tulislah apa pun yang ingin kamu tulis,
karena itu akan menjadi catatan sejarah mu sendiri”. Paling tidak itulah kata pembuka yang
tertulis di halaman pembuka buku peninggalan ayahnya. Buku itu diberikan kepada
Edo saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Meskipun telah ia baca berulang
kali buku itu, ia sama sekali tidak merasa bosan.
Terlihat senyumnya mengembang tatkala
membaca kisah-kisah dalam buku itu, merasa bangga memiliki seorang ayah yang demikian
dikaguminya. Hingga sampai ke halaman kosong yang selalu ia temui di
akhir-akhir cerita. Ia selalu merasa ganjil mengapa halaman-halaman itu di
biarkan kosong. Dan mengapa terdapat seperti semacam peta di balik halaman
kosong itu.
Sayup-sayup suara adzan subuh pun
mulai terdengar, seakan-akan saling bersahut-sahutan dari segala penjuru,
berusaha membangunkan jiwa-jiwa manusia. Edo pun meletakkan bukunya dan bersegera
mengambil air wudu kembali untuk bergegas melaksanakan salat subuh di rumah.
Minggu pagi adalah hari yang tepat untuk dirinya melakukan rutinitas olahraga. Semburat
mentari pagi yang masih terlihat malu-malu menampakkan dirinya, orkestra ringan
kicauan merdu sekelompok burung pipit, segarnya udara di pag hari menjadi
pendamai hati bagi siapapun yang menikmatinya di hari itu.
Kali ini Edo memutuskan untuk jogging
di sekitar waduk buatan yang terletak tidak jauh dari perumahan tempat ia
tinggal. Di sana biasanya juga ramai di kunjungi orang-orang yang berusaha
melepas penat atau sekedar mengisi waktu dengan keluarga setelah satu minggu
disibukkan oleh aktivitas harian. Karena tempatnya yang memang menenangkan,
indah, dan asri menjadikan tujuan wisata gratisan bagi pengunjungnya.
***
Di sebuah pohon besar yang dahannya menjulur
ke arah waduk itulah, Edo seusai jogging dan melakukan beberapa gerakan stretching,
memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu di pinggir waduk sebelum pulang. Sembari
meminum air mineral yang ia bawa dan sesekali mengelap keringat yang mengucur
di sekitar wajahnya. Selama beberapa saat ia pejamkan mata dan membentangkan
tubuhnya di rerumputan yang tumbuh di sekitar pohon. Saat ia membuka mata, ia
terkaget bukan main tanpa ia sadari ternyata di salah satu dahan pohon di
atasnya, seorang perempuan sedang
bertengger di sana sambil tersenyum kecil ke arahnya.
Perempuan berparas manis itu tidak
lebih tinggi dari tubuh Edo, model rambutnya
dicepol, lengkap dengan headphone
yang menggantung di lehernya ia mulai menuruni pohon yang sedari tadi
sebagai tempat bernaungnya.
“Maaf-maaf aku mengagetkan mu, ya?”
sambil turun dari pohon perempuan itu mulai berucap.
“Tidak juga,” jawab Edo sekenanya,
meskipun masih tampak keheranan di raut wajahnya. “Kamu siapa?” lanjut Edo
berusaha akrab.
“Oya perkenalkan namaku Megie,
penunggu di sini”. Jawab perempuan itu sembari terkekeh. “tidak, tidak aku
hanya bercanda,” kemudian lanjutnya.
“Aku Edo, jika kamu ingin tahu,”
ujar Edo berusaha memperkenalkan diri.
“Salam kenal,” jawab Megie dengan
ramah dengan senyum manisnya.
Obrolan pun terus berlanjut antara
mereka. Hingga Edo melihat sebuah kalung milik Megie dengan kunci kecil yang
menggantung di sana. Edo merasa pernah melihatnya, tapi ia sendiri kebingungan
mengingatnya. Terik matahari dirasa sudah semakin tinggi, akhirnya mereka
memutuskan untuk pulang. Mereka berjalan
menuju gerbang waduk, hingga mereka berpisah karena arah rumah mereka
berbeda. Bodohnya Edo saat itu, ia sama sekali tidak meminta nomor telepon
Megie. Meskipun ia ketahui bahwa Megie tinggal di daerah perumahan Cemara.
***
Hari-hari pun terus berlalu. Edo
sendiri disibukkan dengan kegiatan sekolahnya baik mata pelajaran, organisasi,
maupun kegiatan ekstrakurikuler di salah satu SMA ternama di Jakarta. Belum lagi
soal0 jam pelajaran tambahan untuk persiapan Ujian Nasional. Itu semua membuat
Edo tertekan, kalau sudah begini ia tidak sepenuh hati menjalaninya. Ia duduk
tertunduk lesu dan terlihat dikatupkan kedua tangganya di salah satu sudut
kelas. Teman-temannya telah berusaha mengajaknya untuk ke kantin hanya saja ia
jawab dengan lambaian malas, pertanda ia hanya ingin berada di kelas kali ini.
Suasana kelas memang selalu ramai saat jam istirahat, terlihat sal0ah satu
siswa menggambar tidak jelas di papan tulis, ada yang sibuk mengobrol, ada pula
yang sibuk menyalin tugas untuk pelajaran usai istirahat nanti.
Sekembalinya teman-temannya dari
kantin. Edo dikagetkan oleh mereka, tanpa ia sadari ternyata ia tertidur untuk
beberapa menit. Ia tersadar untuk mimpi singkatnya yang selalu saja aneh. Benar
saja jam istirahat telah usai di lanjutkan dengan pelajaran sejarah yang dirasa
membosankan. Setelah beberapa jam lamanya akhirnya bel tanda berakhirnya jam pelajaran
tambahan pun berbunyi, saatnya untuk pulang, pintu-pintu kelas XII terbuka dan
hamburan siswa/siswi mulai memadati koridor maupun halaman sekolah. Mereka
semua dengan raut wajah lesu tidak jauh berbeda dengan Edo. Namun, tiba-tiba
raut wajahnya berubah semringah tatkala ia melihat Megie yang dikenalnya di
waduk beberapa hari lalu. Ia berusaha mendekati Megie di ramainya lalu lal0ang
siswa/siswi lain.
“Hai! Megie Andristi kan?” tanya Edo
tergagap-gapap sesampainya di depan Megie sambil membungkuk kelelahan setelah
berlari beberapa puluh meter.
“Hai! Edo Pratama,” sambil tetap
berjalan menuju gerbang sekolah
“Kamu sekolah di sini juga?”
“Tentu sajalah, aku kan satu
angkatan denganmu, aku berada di kelas C” jawab Megie heran.
“Yang benar saja, selama hampir tiga
tahun aku tidak pernah melihatmu barang sekali pun,”.
“Bukannya tidak pernah, melihat kamu
hanya tidak memperhatikan,” jawab Megie. “Dan tentu saja kamu hanya akan
menemukanku di Perpustakaan atau taman belakang sekolah, karena keduanya tempat
favorit ku,” lanjut Megie berusaha menjawab kebingungan Edo.
Kali ini Edo tidak lupa meminta
nomor teleponnya. Hari-hari pun kembali berjalan dan Edo menjadi semakin akrab
dengan Megie.
***
Ia kembali membuka buku catatan
usang peninggalan ayahnya, sampai ia di halaman yang membahas bahwa ayahnya
juga meninggalkan sebuah kotak rahasia yang terkunci di suatu tempat. Dan ia
juga mendapati tanda gambar kunci di setiap pojokan kanan atas kertas kosong dalam
buku itu. Ia teringat pernah melihat tanda yang sama dengan kalung yang
dikenakan oleh Megie. Ia merasa bahwa ini adalah teka-teki yang ditinggalkan oleh
ayahnya, untuk dipecahkan Edo. Tapi ada hal yang membuat ia belum mengerti.
Mengapa ini berhubungan dengan Megie. Kali ini ia berusaha menghubungi Megie
untuk membuat janji pertemuan di sebuah kafe. Dan ternyata Megie menyetujui hal
tersebut, pasalnya pesan singkat yang dikirimkan kepada Megie bertanda “emergency”
di akhirannya.
***
Akhirnya mereka bertemu di kafe yang
telah di tentukan. Edo memesan segelas cappuccino dan segelas coklat
panas untuk Megie. Sembari mengeluarkan buku peninggalan ayahnya dari
tas ia mulai berucap.
“Maaf mengganggu waktu mu Meg,”
Kemudian ia letakkan buku itu di atas meja kafe.
“Tidak masalah jika ini benar-benar
penting,” kata Megie menjawab. “Lalu sebenarnya ada apa?” lanjut Megie
mengajukan pertanyaan.
“Ini berkenaan dengan kalung yang
kamu kenakan, boleh aku melihatnya?” pinta Edo.
“Tentu saja, ini adalah kalung yang
di berikan oleh ayahku saat berusia lima belas tahun dan kini ayahku sudah
tiada,” jawab Megie teringat ayahnya sambil berusaha melepaskan kalung dari lehernya.
“Ini,” lanjut Megie menyerahkannya pada Edo.
“Tepat seperti dugaan ku,” batin Edo
dalam hati. “Megie, coba kamu perhatikan ini,” Edo mencoba memperlihatkan
temuannya dengan menunjukkan tanda yang ada di dalam buku sama persis dengan
kunci kalung milik Megie.
Kemudian Edo juga menceritakan bahwa
buku itu didapatkan dari ayahnya saat ia berusia lima belas tahun, sama persis
dengan cara Megie mendapatkan kalung kunci itu dan ia juga menceritakan bahwa
ayahnya juga sudah tiada. Suatu kebetulan yang di sengaja ujar mereka berdua.
Tentu saja lantas Megie menceritakan bahwa ayahnya pernah menyampaikan padanya,
bahwa ia pernah memiliki sahabat saat ia waktu masih muda dalam menemani perjalanannya
mengelilingi nusantara. Hingga akhirnya cerita berakhir dengan nasib nahas yang
ditimpa oleh ayah mereka berdua yang meninggal karena sebuah kecelakan dan
mayatnya tidak kunjung ditemukan keberadaaanya.
Edo teringat bahwa ada sisipan selembar
foto dengan inisial P&A di pojok kanannya. Ayahnya berfoto bersama orang
yang entah tidak ia kenali di dalam buku itu. Untuk kemudian ditunjukkannya
pada Megie. Dan Megie spontan terkejut mendapati foto ayahnya ada di dalam buku
itu. Megie juga pernah melihat foto ayah Edo di kumpulan album milik ayahnya.
Kemudian Edo mengutarakan, pada
bagian yang terdapat tanda itulah ia sama sekali tidak mengerti mengapa
dibiarkan kosong, tidak juga ia mengerti potongan-potongan peta di balik halaman
kosong itu. Belum selesai Edo melanjutkan ceritanya, Megie sudah bertindak
dengan memanggil pelayan kafe, untuk meminta sebuah lilin dan korek api.
“Ini dia jawabannya,” kata Megie
merasa menang, setelah ia mendapatkan
pesanannya tiba.
“Maksudmu apa, aku sama sekali tidak
mengerti,” jawab Edo keheranan dengan perilaku Megie”.
Megie teringat sebuah trik yang
pernah ayahnya ajarkan dulu. Kemudian Megie mulai menyalakan lilin dan
menyambar buku milik Edo dari tangannya.
“Hei, hei, hei. Mau kamu apakan buku
itu, awas saja sampai terbakar,” cegah Edo berusaha menghentingkan perbuatan
Megie.
“Sudah tenang saja kamu pasti akan
tahu jawabannya sebentar lagi,” jawab Megie menenangkan Edo.
Sebuah tulisan mulai muncul di atas
halaman kosong itu dengan Megie tetap memanaskan bagian bawahnya menggunakan
lilin. Tentu saja ini ada penjelasan ilmiahnya Jus Lemon adalah senyawa organik
yang dapat teroksidasi dan berubah warna menjadi coklat ketika dipanaskan. Edo
baru tersadar mengapa sejak dulu ayahnya gemar menyimpan lemon di lemari
pendingin.
Kini terkuak sudah misteri halaman
buku kosong berkat bantuan Megie. Namun tetap saja hal itu masih menyisakan
teka-teki dari isi halaman buku kosong yang makin membuat Edo tambah
kebingungan dengan petunjuk-petunjuk abstrak di dalamnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar