Sabtu, 25 Oktober 2014

Misteri Peninggalan Ayah part1

Merupakan salah satu cerpen asli karangan saya sendiri. Mengisahkan kehidupan Edo sebagai tokoh utama, dimana dia harus memecahkan beberapa misteri peninggalan ayahnya. Part ini adalah bagian pembuka dari jalan cerita sesungguhnya dari kisah panjang perjalan Edo. Oke lanjut.



Misteri Peninggalan Ayah
Sayup-sayup terdengar suara rintih tangisan saat senja datang. Sungguh suara yang menyayat hati bagi siapa pun yang mendengarnya. Kini satu jiwa telah kembali ke dalam dekapan-Nya. Tidak dapat di pungkiri siapa pun yang hidup di dunia ini akan mengalami kematian. Mau balita, remaja, dewasa bahkan lansia tidak tahu pasti kapan ia akan mati. Memang benar adanya, perkara itu di luar batas kemampuan manusia. Namun berbeda dengan seorang Edo dengan indigo yang dimilikinya setelah ia membuka kotak rahasia peninggalan ayahnya.
***

Keringat dingin membasahi tubuh Edo saat ia terbangun di tengah tidurnya. Mimpi itu datang lagi ujarnya dalam hati. Ia melihat kearah jam dinding dan waktu menunjukkan pukul 02.30 pagi. Kemudian segera saja ia menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu dan melaksanakan salat tahajud.
Sembari menunggu masuk waktu subuh. Ia buka sebuah buku berwarna hitam polos dengan sampulnya yang telah termakan usia dan judul putih  “Akhir Dunia”. Itu adalah buku harian milik ayahnya yang berisi segudang cerita perjalanan semasa ayahnya muda mengarungi nusantara. “tulislah apa pun yang ingin kamu tulis, karena itu akan menjadi catatan sejarah mu sendiri”.  Paling tidak itulah kata pembuka yang tertulis di halaman pembuka buku peninggalan ayahnya. Buku itu diberikan kepada Edo saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Meskipun telah ia baca berulang kali buku itu, ia sama sekali tidak merasa bosan.
Terlihat senyumnya mengembang tatkala membaca kisah-kisah dalam buku itu, merasa bangga memiliki seorang ayah yang demikian dikaguminya. Hingga sampai ke halaman kosong yang selalu ia temui di akhir-akhir cerita. Ia selalu merasa ganjil mengapa halaman-halaman itu di biarkan kosong. Dan mengapa terdapat seperti semacam peta di balik halaman kosong itu.
Sayup-sayup suara adzan subuh pun mulai terdengar, seakan-akan saling bersahut-sahutan dari segala penjuru, berusaha membangunkan jiwa-jiwa manusia. Edo pun meletakkan bukunya dan bersegera mengambil air wudu kembali untuk bergegas melaksanakan salat subuh di rumah. Minggu pagi adalah hari yang tepat untuk dirinya melakukan rutinitas olahraga. Semburat mentari pagi yang masih terlihat malu-malu menampakkan dirinya, orkestra ringan kicauan merdu sekelompok burung pipit, segarnya udara di pag hari menjadi pendamai hati bagi siapapun yang menikmatinya di hari itu.
Kali ini Edo memutuskan untuk jogging di sekitar waduk buatan yang terletak tidak jauh dari perumahan tempat ia tinggal. Di sana biasanya juga ramai di kunjungi orang-orang yang berusaha melepas penat atau sekedar mengisi waktu dengan keluarga setelah satu minggu disibukkan oleh aktivitas harian. Karena tempatnya yang memang menenangkan, indah, dan asri menjadikan tujuan wisata gratisan bagi pengunjungnya.
***
Di sebuah pohon besar yang dahannya menjulur ke arah waduk itulah, Edo seusai jogging dan melakukan beberapa gerakan stretching, memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu di pinggir waduk sebelum pulang. Sembari meminum air mineral yang ia bawa dan sesekali mengelap keringat yang mengucur di sekitar wajahnya. Selama beberapa saat ia pejamkan mata dan membentangkan tubuhnya di rerumputan yang tumbuh di sekitar pohon. Saat ia membuka mata, ia terkaget bukan main tanpa ia sadari ternyata di salah satu dahan pohon di atasnya, seorang  perempuan sedang bertengger di sana sambil tersenyum kecil ke arahnya.
Perempuan berparas manis itu tidak lebih tinggi dari tubuh Edo, model rambutnya  dicepol, lengkap dengan headphone  yang menggantung di lehernya ia mulai menuruni pohon yang sedari tadi sebagai tempat bernaungnya.
“Maaf-maaf aku mengagetkan mu, ya?” sambil turun dari pohon perempuan itu mulai berucap.
“Tidak juga,” jawab Edo sekenanya, meskipun masih tampak keheranan di raut wajahnya. “Kamu siapa?” lanjut Edo berusaha akrab.
“Oya perkenalkan namaku Megie, penunggu di sini”. Jawab perempuan itu sembari terkekeh. “tidak, tidak aku hanya bercanda,” kemudian lanjutnya.
“Aku Edo, jika kamu ingin tahu,” ujar Edo berusaha memperkenalkan diri.
“Salam kenal,” jawab Megie dengan ramah dengan senyum manisnya.
Obrolan pun terus berlanjut antara mereka. Hingga Edo melihat sebuah kalung milik Megie dengan kunci kecil yang menggantung di sana. Edo merasa pernah melihatnya, tapi ia sendiri kebingungan mengingatnya. Terik matahari dirasa sudah semakin tinggi, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Mereka berjalan  menuju gerbang waduk, hingga mereka berpisah karena arah rumah mereka berbeda. Bodohnya Edo saat itu, ia sama sekali tidak meminta nomor telepon Megie. Meskipun ia ketahui bahwa Megie tinggal di daerah perumahan Cemara.
***
Hari-hari pun terus berlalu. Edo sendiri disibukkan dengan kegiatan sekolahnya baik mata pelajaran, organisasi, maupun kegiatan ekstrakurikuler di salah satu SMA ternama di Jakarta. Belum lagi soal0 jam pelajaran tambahan untuk persiapan Ujian Nasional. Itu semua membuat Edo tertekan, kalau sudah begini ia tidak sepenuh hati menjalaninya. Ia duduk tertunduk lesu dan terlihat dikatupkan kedua tangganya di salah satu sudut kelas. Teman-temannya telah berusaha mengajaknya untuk ke kantin hanya saja ia jawab dengan lambaian malas, pertanda ia hanya ingin berada di kelas kali ini. Suasana kelas memang selalu ramai saat jam istirahat, terlihat sal0ah satu siswa menggambar tidak jelas di papan tulis, ada yang sibuk mengobrol, ada pula yang sibuk menyalin tugas untuk pelajaran usai istirahat nanti.
Sekembalinya teman-temannya dari kantin. Edo dikagetkan oleh mereka, tanpa ia sadari ternyata ia tertidur untuk beberapa menit. Ia tersadar untuk mimpi singkatnya yang selalu saja aneh. Benar saja jam istirahat telah usai di lanjutkan dengan pelajaran sejarah yang dirasa membosankan. Setelah beberapa jam lamanya akhirnya bel tanda berakhirnya jam pelajaran tambahan pun berbunyi, saatnya untuk pulang, pintu-pintu kelas XII terbuka dan hamburan siswa/siswi mulai memadati koridor maupun halaman sekolah. Mereka semua dengan raut wajah lesu tidak jauh berbeda dengan Edo. Namun, tiba-tiba raut wajahnya berubah semringah tatkala ia melihat Megie yang dikenalnya di waduk beberapa hari lalu. Ia berusaha mendekati Megie di ramainya lalu lal0ang siswa/siswi lain.
“Hai! Megie Andristi kan?” tanya Edo tergagap-gapap sesampainya di depan Megie sambil membungkuk kelelahan setelah berlari beberapa puluh meter.
“Hai! Edo Pratama,” sambil tetap berjalan menuju gerbang sekolah
“Kamu sekolah di sini juga?”
“Tentu sajalah, aku kan satu angkatan denganmu, aku berada di kelas C” jawab Megie heran.
“Yang benar saja, selama hampir tiga tahun aku tidak pernah melihatmu barang sekali pun,”.
“Bukannya tidak pernah, melihat kamu hanya tidak memperhatikan,” jawab Megie. “Dan tentu saja kamu hanya akan menemukanku di Perpustakaan atau taman belakang sekolah, karena keduanya tempat favorit ku,” lanjut Megie berusaha menjawab kebingungan Edo.
Kali ini Edo tidak lupa meminta nomor teleponnya. Hari-hari pun kembali berjalan dan Edo menjadi semakin akrab dengan Megie.
***
Ia kembali membuka buku catatan usang peninggalan ayahnya, sampai ia di halaman yang membahas bahwa ayahnya juga meninggalkan sebuah kotak rahasia yang terkunci di suatu tempat. Dan ia juga mendapati tanda gambar kunci di setiap pojokan kanan atas kertas kosong dalam buku itu. Ia teringat pernah melihat tanda yang sama dengan kalung yang dikenakan oleh Megie. Ia merasa bahwa ini adalah teka-teki yang ditinggalkan oleh ayahnya, untuk dipecahkan Edo. Tapi ada hal yang membuat ia belum mengerti. Mengapa ini berhubungan dengan Megie. Kali ini ia berusaha menghubungi Megie untuk membuat janji pertemuan di sebuah kafe. Dan ternyata Megie menyetujui hal tersebut, pasalnya pesan singkat yang dikirimkan kepada Megie bertanda “emergency” di akhirannya.
***
Akhirnya mereka bertemu di kafe yang telah di tentukan. Edo memesan segelas cappuccino dan segelas coklat panas untuk Megie. Sembari mengeluarkan buku peninggalan ayahnya dari tas ia mulai berucap.
“Maaf mengganggu waktu mu Meg,” Kemudian ia letakkan buku itu di atas meja kafe.
“Tidak masalah jika ini benar-benar penting,” kata Megie menjawab. “Lalu sebenarnya ada apa?” lanjut Megie mengajukan pertanyaan.
“Ini berkenaan dengan kalung yang kamu kenakan, boleh aku melihatnya?” pinta Edo.
“Tentu saja, ini adalah kalung yang di berikan oleh ayahku saat berusia lima belas tahun dan kini ayahku sudah tiada,” jawab Megie teringat ayahnya sambil berusaha melepaskan kalung dari lehernya. “Ini,” lanjut Megie menyerahkannya pada Edo.
“Tepat seperti dugaan ku,” batin Edo dalam hati. “Megie, coba kamu perhatikan ini,” Edo mencoba memperlihatkan temuannya dengan menunjukkan tanda yang ada di dalam buku sama persis dengan kunci kalung milik Megie.
Kemudian Edo juga menceritakan bahwa buku itu didapatkan dari ayahnya saat ia berusia lima belas tahun, sama persis dengan cara Megie mendapatkan kalung kunci itu dan ia juga menceritakan bahwa ayahnya juga sudah tiada. Suatu kebetulan yang di sengaja ujar mereka berdua. Tentu saja lantas Megie menceritakan bahwa ayahnya pernah menyampaikan padanya, bahwa ia pernah memiliki sahabat saat ia waktu masih muda dalam menemani perjalanannya mengelilingi nusantara. Hingga akhirnya cerita berakhir dengan nasib nahas yang ditimpa oleh ayah mereka berdua yang meninggal karena sebuah kecelakan dan mayatnya tidak kunjung ditemukan keberadaaanya.
Edo teringat bahwa ada sisipan selembar foto dengan inisial P&A di pojok kanannya. Ayahnya berfoto bersama orang yang entah tidak ia kenali di dalam buku itu. Untuk kemudian ditunjukkannya pada Megie. Dan Megie spontan terkejut mendapati foto ayahnya ada di dalam buku itu. Megie juga pernah melihat foto ayah Edo di kumpulan album milik ayahnya.
Kemudian Edo mengutarakan, pada bagian yang terdapat tanda itulah ia sama sekali tidak mengerti mengapa dibiarkan kosong, tidak juga ia mengerti potongan-potongan peta di balik halaman kosong itu. Belum selesai Edo melanjutkan ceritanya, Megie sudah bertindak dengan memanggil pelayan kafe, untuk meminta sebuah lilin dan korek api.
“Ini dia jawabannya,” kata Megie merasa menang, setelah ia  mendapatkan pesanannya tiba.
“Maksudmu apa, aku sama sekali tidak mengerti,” jawab Edo keheranan dengan perilaku Megie”.
Megie teringat sebuah trik yang pernah ayahnya ajarkan dulu. Kemudian Megie mulai menyalakan lilin dan menyambar buku milik Edo dari tangannya.
“Hei, hei, hei. Mau kamu apakan buku itu, awas saja sampai terbakar,” cegah Edo berusaha menghentingkan perbuatan Megie.
“Sudah tenang saja kamu pasti akan tahu jawabannya sebentar lagi,” jawab Megie menenangkan Edo.
Sebuah tulisan mulai muncul di atas halaman kosong itu dengan Megie tetap memanaskan bagian bawahnya menggunakan lilin. Tentu saja ini ada penjelasan ilmiahnya Jus Lemon adalah senyawa organik yang dapat teroksidasi dan berubah warna menjadi coklat ketika dipanaskan. Edo baru tersadar mengapa sejak dulu ayahnya gemar menyimpan lemon di lemari pendingin.
Kini terkuak sudah misteri halaman buku kosong berkat bantuan Megie. Namun tetap saja hal itu masih menyisakan teka-teki dari isi halaman buku kosong yang makin membuat Edo tambah kebingungan dengan petunjuk-petunjuk abstrak di dalamnya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar